Perkenalan

Assalamualaikum...
Awalnya, menyulam merupakan hobi yang Saya tekuni di sela-sela kesibukan Saya sebagai karyawan. Alangkah nikmat dan damainya jika Saya sedang mengerjakan suatu proyek sulaman. Sepertinya, ada sesuatu yang tersalurkan. Diakui atau tidak, menyulam memberi waktu pada Saya untuk berfikir lebih taktis dalam membuat perencanaan... Hehehe, boleh dibilang menjadi inspirasi yang sangat hebat. Inspiring works, inspiring time, inspiring to relax... i don't know ...
Sekarang, menyulam sudah bukan lagi sekedar hobi. Ternyata melalui menyulam, Saya mampu memberi sedikit pengetahuan dan pekerjaan pada ibu-ibu di sekitar Saya. Silahkan tengok-tengok hasil karya Saya. Jika Berminat untuk membeli, silahkan tinggalkan pesan, atau email di nawaza09@yahoo.com, atau lebih cepat lagi kontak di nomor saya : 085228690194 or 085729673533.
Mungkin pula, suatu saat jika ada waktu, Saya berbagi ilmu yang cuma setitik ini. Okey. Selamat berkunjung... Selamat berbelanja
Wassalamualaikum wr wb

11 Apr 2012

CERPENKU "PADANG JAGUNG"


PADANG JAGUNG
Oleh : Indah Saptiningrum
(Di tulis pada 2008)


            Masih terlalu pagi. Subuh baru saja usai dan matahari masih enggan mengisi hari. Semburat biru dan jingga memecah gumpalan hitam di langit. Garis-garis putih tipis semakin melebar menghujam bumi. Angin dingin berhembus malas menembus kulit, namun terasa sangat ngilu. Merapatkan jaket adalah tindakan bijaksana mengurangi kesakitan ini. Tangan berjaga kalau-kalau jaket terbuka dan membantu menghangatkan badan dengan disilangkan di dada, seperti rekanan yang saling menguntungkan.
            Mobil angkutan pedesaan yang kutumpangi adalah mobil pertama hari ini. Aku adalah penumpang pertama yang masuk ke desa baginya setelah mengantar petani dan pedagang sayuran ke pasar induk. Sopir seperti tak mau menunggu mobilnya penuh, karena ia yakin tak mungkin ada penumpang menuju ke desa pada jam sepagi ini. Ia memacu mobil dengan kecepatan penuh tanpa memperhitungkan orang lain yang mungkin akan menumpang. Bukan karena ia ingin mengantarkan Aku cepat sampai tujuan. Tapi lebih karena rejeki menunggu di ujung desa, yaitu anak-anak berangkat sekolah, buruh pagi dan juga sedikit pegawai. Sepertinya dia tak mau rejekinya dipatok ayam jika kesiangan. Dan Aku terpaksa berpegangan kuat-kuat pada besi yang dipasang di sepanjang jendela jika tak ingin terhempas.
            Lampu rem mobil menyala. Mobil berhenti mendadak membuatku terpental dari dudukku. Busyet! Andai Aku tak sedang menahan perasaanku pasti sudah memaki sopir ini dengan sumpah serapah. Aku melompat turun tanpa komentar. Mobil langsung melesat menghilang menembus kabut yang mulai menipis, menyisakan bau knalpot dan dengungan mesin yang makin sayup-sayup terdengar. Aku menarik nafas dalam-dalam melalui hidung. Memasukkan udara pagi nan segar ke dalam paru-paruku hingga penuh, kemudian perlahan membuangnya melalui mulut. Gumpalan putih asap tipis mengiringi hembusan nafasku. Kutatap hamparan padang jagung yang telah siap panen. Mungkin setengah bulan lagi. Luas, luas tiada batas seakan mencapai titik cakrawala. Berlatar birunya Gunung Sumbing dan Sindoro di sisi timur dan barat. Dan memerahnya ujung langit yang bergerak dramatis. Warna coklat kusam klobot, rambut jagung coklat tua yang menyembul sedikit di ujungnya dan pohon jagung berjejer rapi bagaikan lukisan maestro. Perpaduan indah, keanggunan yang menyesakkan dada bagiku.
            Aku berdiam malas untuk melangkah selayaknya orang mudik yang ingin segera berbagi oleh-oleh dengan sanak saudara dan tetangga. Aku tidak mirip sekalipun dengan pemudik yang telah menyiapkan aneka cerita historis yang membuat pemuda lain tergiur untuk ikut merantau. Walaupun Aku menginginkan pelukan dan rangkulan, Aku tak berani untuk membayangkan. Yang hadir dalam pelupuk mataku hanyalah sorot mata tajam penuh kemarahan dari orang-orang yang telah kukhianati. Aku tak berani… Tapi kemana Aku harus kembali kalau bukan ke ranah kelahiranku. Di situ Aku bermain benthik, di situ Aku nener, di situ Aku berkelahi dengan teman sebayaku dan disitu Aku mencium gadis lugu yang tersipu dan memerah pipinya menahan marah. Sartini. Aku hanya berani menatap hamparan ladang jagung yang diam membisu.
            Ah, ladang jagung pun tentunya merasa hina kutatap. Karena Aku membuatnya rendah dan tidak berpengharapan. Bukan tanpa alasan, tapi penuh dengan alasan dan semua bermuara padaku. Ladang gersang tadah hujan yang memberikan hasil terbaik jika ditanami jagung. Sesekali padi ditanam ketika hujan sedikit lebat dan ajeg, namun tikus selalu lebih dulu memanennya. Ladang gersang sebagai tumpuan hidup hampir semua penduduk kampung. Ladang gersang yang memeras tenaga dan keringat si tua dan pemuda bodoh. Matahari di atasnya telah membuat kulit mengering, menghitam, berbau dan mengeriput lebih awal. Dulu semua kuanggap tidak layak sebagai gantungan masa depan, bahkan sekedar bertahan hidup.
            Karena itu Aku menginginkan bapak menjual ladang sialan itu dan membiayaiku pergi ke Malaysia. Kang Marijan bekerja di pabrik elektronik dan bergaji banyak. Buktinya, sepulang dari Malaysia, Kang Marijan bisa membangun rumah tembok, bahkan menikahi Sartini yang manis dengan pesta meriah dan mewah. Yu Kartini tak kalah hebat walaupun hanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Buktinya, ia mampu membelikan Agus sepeda motor baru untuk ngojek. Kontan lagi! Konon kabarnya, Slamet pun bisa rutin mengirim Bapak dan Emboknya uang setiap bulan sejak ia menjadi kuli bangunan di Malaysia. Dan banyak lagi yang lainnya begitu menikmati manisnya surga di negeri jiran. Apakah Aku salah jika ingin merubah nasib keluargaku yang terus berkutat dengan jagung, dan jagung, yang sama artinya dengan  kemiskinan.
            Tapi, Bapak keras kepala. Ia tak mau Aku meninggalkan keluarga pergi ke Malaysia. Bukan karena alasan itu. Tapi ia tak mau menjual beberapa petak kecil ladang jagungnya untuk membiayaiku pergi beradu untung di Malaysia. Sungguh kolot dan juga egois. Menurut Bapak, ladang sialan itu adalah warisan leluhur yang tidak hanya harus ditanami. Tapi juga harus diopeni dan dikeramatkan. Jika kita menjual sebidang tanah warisan akan berbuntut pada menjual tanah warisan lainnya hingga habis.  Ia lebih rela menjadi budak ladang jagung. Ia lebih rela membuat tubuhnya lambat laun membungkuk karena mengangkat hasil panenan. Dan Embok adalah orang yang tidak memiliki hak untuk bersuara. Ia hanya mengangguk patuh mengiyakan. Kehancuran dan kemiskinan selayaknya membayang di pelupuk mata tua Bapak. Bodoh! Tidakkah Bapak menyadari bahwa sekarang ia sudah miskin sekali. Miskin dan papa.
            Aku menuruni sifat keras kepala Bapak. Diam-diam Aku mengambil beberapa lembar surat tanah pada lemari kayu di kamar Bapak. Aku menyimpannya rapat-rapat di antara kulit dan kaosku. Mendekapnya erat agar tak jatuh. Aku menyelinap keluar. Pertanyaan Embok kujawab sekenanya. Sapaan Tumini adik semata wayangku yang beranjak remaja kujawab dengan bentakan. Aku terburu-buru berjalan menuju rumah Lik Tarmin, warga desa sebelah. Seorang makelar yang baik hati. Ia juga sering memberangkatkan orang ke luar negeri untuk bekerja. Tanpa harus bersusah payah mengurus thethek bengek seperti kalau kita mendaftar di PT. Ia menjanjikanku langsung berangkat, jika Aku bisa menyediakan uang sepuluh juta. Senilai dengan dua atau tiga petak ladang Bapak. Seharusnya Bapak rela, toh ia masih memiliki dua petak ladang lainnya untuk di olah. Sehingga Aku tak perlu mencuri seperti ini.
            Lik Tarmin sepertinya tidak suka padaku ketika Aku bilang, “Aku tak punya uang sepuluh juta.”Aku menatap matanya memohon belas kasihnya. “Tapi… Aku punya dua surat tanah”. Aku menyodorkan dua lembar surat tanah milik Bapak sambil gemetar. Ini pertama kali Aku mencuri… dari Bapak…. Tapi Aku berjanji dalam hati akan mengganti dengan yang lebih luas, lagi lebih subur. Aku berjanji akan mengganti dengan apapun keinginan Bapak. Seperti menikahkan Tumini dengan pemuda terhormat dan juga sregep bekerja. Pasti!. Setelah Aku pulang dari Malaysia. Mungkin tidak sampai tiga tahun.
            “Tanah ladang kering seperti ini, harganya tidak seberapa Dik Sugi,”Kata Lik Tarmin meletakkan surat tanah di meja perlahan. Ia menyulut rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Aku mengejar sudut matanya, menunggu kata lainnya. Aku sudah mendengar cerita dari beberapa orang kalau Lik Tarmin pasti akan berkata begitu. Tapi ia akhirnya akan berbaik hati mengiyakannya.
            “Lik Tarmin kan sudah kenal Bapakku tho. Nanti kalau pulang dari Malaysia Aku ndak akan lupa pada jasa sampeyan,”Janjiku pada Lik Tarmin yang terus menghisap rokoknya, kemudian menghembuskan asap berbentuk gumpalan bulat putih dari mulutnya. Seperti yang sering dilakukan Bapak untuk menyenangkan Aku dan Tumini sewaktu masih kecil. Ia mematikan apinya pada asbak yang diletakkan diatas meja. “Dik Sugi tahu. Pergi ke Malaysia harus pakai pasport. Syaratnya ndak gampang. Aku harus keluar masuk kantor imigrasi. Belum lagi Dik Sugi tidak punya akte lair. Wah… sedikit repot dan butuh waktu paling cepat satu minggu,” Katanya mengacungkan tangannya mempersilahkan Aku minum. Istri Lik Tarmin baru saja mengantarkan teh cong yang masih panas. Aku segera menyeruputnya untuk menghilangkan ketegangan syaraf otakku. Lik Tarmin meneruskan penjelasannya,”Dik Sugi juga harus tahu. Syarat Dik Sugi banyak yang tidak ada. Jadi Aku butuh uang banyak untuk nyogok sana sini. Jumlahnya nggak sedikit. Aku bisa tombok banyak,” Ia berhenti sejenak dan menyeruput teh panas yang masih mengepulkan asap dengan suara keras. Beberapa batang teh bergantungan di kumisnya yang lebat. Tangan Lik Tarmin spontan mengusap kumisnya dan membuang batang teh di lantai keramik. Ia mengambil kembali akte tanah di meja. Ia menatapnya dengan seksama kemudian menggelengkan kepala dan menaruhnya lagi. Aku jadi khawatir, jantungku berdebar keras, keringat dingin mengucur. Aku tak bisa membayangkan penolakan Lik Tarmin mengurus kepergianku.
            “Lik, tolonglah Aku. Aku akan bayar kekurangannya nanti kalau sudah pulang dari Malaysia,”Suara yang keluar dari mulutku tercekat bercampur dengan hibaan. Aku menatap mata Lik Tarmin memohon. Lik Tarmin menarik nafas panjang dan meneruskan menyeruput teh. Kali ini bunyi seruputannya lebih pelan dan lebih lama. Mungkin Lik Tarmin takut ada batang dan daun teh mampir kembali di kumisnya “Hah, apa Dik Sugi sudah rembugan sama orangtua?,”Tanyanya pelan. Matanya menatap wajahku penuh selidik. Aku tak berani berkata-kata, hanya menunduk dan menggeleng. “Wah susah. Nanti Bapakmu nuntut sama Aku. Geger dadine. Hiso-hiso medhot paseduluran. Piye iki? Resikonya besar,” Kalimatnya meninggi. Tangan kirinya ia tepuk-tepukkan di lutut. Aku sangat takut menatap wajahnya. “Tapi apa tekadmu sudah bulat?,”Tanyanya tiba-tiba. Aku buru-buru menjawab,”Sudah Lik.”Lama Lik Tarmin tidak bersuara. Ia berkali-kali melirikku, menepuk lututnnya dengan tangan kiri kemudian mengusap kumisnya. Akhirnya, matanya menatap ke luar rumahnya melalui pintu masuk model sekarang yang bagus. Tarikan nafasnya terasa berat. Ia menggeser pecinya menjadi sedikit miring. Nampaknya Lik Tarmin sedang berpikir keras. Sedang Aku terus berdoa dan berharap.
            “Hah … yo wis. Pikirkan dulu. Surat tanahnya biar disini dulu. Nanti biar Aku taksir harganya. Idep-idep nulung dulur ,” Keluh Lik Tarmin menimang surat tanah. Dan menyuruhku pulang. “Kira-kira seminggu lagi Dik Sugi kesini,”Suasana hatiku sekonyong-konyong berubah gembira. Aku tak mampu berbicara atau mengucapkan terima kasih. Aku bangkit dan meraih tangan Lik Tarmin yang berhati mulia dan menciumnya. Aku bahkan berdoa dalam hati agar rejeki Lik Tarmin lancar dan berlimpah.
Pada saat itu, udara dan langit berubah menjadi cerah. Angin pun berhembus manja memainkan anak rambutku yang tak sempat ku potong. Keringat dingin yang tadi mengalir deras ketika berada di rumah Lik Tarmin berubah menjadi air dingin menyejukkan. Khayalku melayang jauh. Malaysia, uang, pernikahan Tumini, senyum bangga Bapak mengenakan baju batik idamannya yang tak pernah bisa ia beli. Embok nampak anggun dengan kebaya muslim yang bagus, tidak kalah dengan yang dikenakan Bu Kaji Tasliyah. Rumahku pun telah berubah menjadi rumah banon. Satu lagi yang tak boleh lupa dalam khayalanku, wajah menyesal Sartini karena tak sabar menungguku berhasil seperti ini.
Tapi keberangkatanku diiringi sumpah serapah Bapak dan raungan tangis Embok. Juga isak tangis Tumini yang memohon agar Aku mengurungkan niatku. Aku tak peduli. Aku tak menganggap penting ketika Bapak berujar dengan suara melengking,”Idep-idep pecah ndogge siji. Minggat kono!” Langitpun berubah menjadi hitam dan gelap. Aku memang pergi meninggalkan rumah dan desaku. Aku berjanji dalam hati untuk kembali membuat kemakmuran keluargaku.
            Ku ambil jalan pintas melalui ladang jagung yang seakan tiada habis. Daun keringnya menyayat kulitku seperti pinggiran silet yang tajam. Lambaian daun jagung lebih seperti kibasan tangan mengusirku. “Aku tak peduli, kau tahu itu ladang jagung brengsek!,”Aku berteriak keras sambil berlari dan membalas memukul, mematahkan pohon jagung kemudian menginjak-injaknya dengan sekuat tenaga. “Aku akan pulang nanti. Dan kau akan menjadi benda kuno yang tidak dipuja lagi. Aku akan menang dan kau payah!,”Teriakku memaki pohon jagung yang bergesekan satu sama lain. Angin kencang diiringi guntur keras di langit dan kilatan kuning seperti api menjawab tantanganku. Aku pergi.
             Kenyataan ternyata jauh dari dari impian. Aku bertepuk sebelah tangan. Aku tertipu. Aku sempat merasa beruntung ketika berangkat lebih dulu dari teman-teman senasibku dari penampungan di Jakarta. Walaupun Aku harus pergi dengan menumpang truk yang ditutup terpal. Gelap dan pengap. Aku bahkan tak boleh keluar dari belakang truk. Tidak boleh, sekalipun untuk menghirup udara segar di luar sana. Baiklah, yang penting Aku sampai di Malaysia, pikirku. Berjam-jam dan mungkin berhari-hari Aku hanya mendengar bisingnya suara klakson dan mesin truk.  Aku menahan keinginanku untuk kencing dan buang air besar. Aku menahan keinginanku untuk mengguyur tubuhku setelah terperangkap dalam ruangan sesak dan panas. Aku hanya mampu berbincang-bincang dengan mereka dalam satu truk. Celoteh gembira, kadang-kadang diiringi tawa menggema bercampur bau badan dan mulut yang tak sedap. Kemudian mencoba untuk tidur dan bermimpi indah.
Aku tiba di sebuah mess, makan dan mandi. Malaysia, Aku datang, bisikku pelan penuh senyuman dan semangat. Seorang laki-laki tua dan kekar yang tidak banyak bicara kecuali menghardik memeriksa satu persatu. Aku dan teman-temanku langsung digiring bekerja. Aku terperanjat melihat apa yang ada dihadapanku. Ladang jagung yang luas dan berwarna coklat. Aku harus bekerja di ladang jagung, pekerjaan yang Aku benci selama ini. Aku tak sempat bertanya. Bentakan-bentakan datang terus menerus tiada henti. Dan waktu istirahat yang sedikit. Tak cukup untuk meluruskan punggungku yang penat karena harus mengangkat panenan jagung berulangkali. Kemudian keesokkan harinya harus mencangkul atau menyabit rumput tinggi membuka lahan. Terus menerus berulang pada hari berikutnya. Tidak ada waktu tersedia untuk bermimpi.
Mungkin sudah berminggu-minggu Aku berada dalam penjara ini. Mungkin pula sudah berbulan-bulan. Aku tak mampu mengingat hari lagi. Setiap malam terdengar ratapan menyesal yang tersekat. Laki-laki menangis terguguk menjadi hal biasa di dalam mess yang panas. Aku tak jauh berbeda. Rutinitas kerja padat lebih mirip dengan kerja paksa. Tanpa bayaran. Tidak sama sedikitpun dengan cerita Kang Marijan atau Yu Kartini. Matahari terbit dan tenggelam hanya diselingi kerja keras, keringat dan tangis pilu. Tidak tawa, impian dan harapan akan masa depan. Aku berontak dalam hati.
Bersama beberapa pemuda seusiaku merancang pelarian dari perkebunan jagung. Semua berawal ketika kami mendengar suara truk tak jauh dari kubangan air tempat kami mandi. Dua orang dari kami mengintip hingga di balik rumput yang tinggi. Aku dan yang lain berjaga-jaga dan tetap pura-pura mandi seperti biasa. Pada jam-jam tertentu ketika kami mandi, beberapa truk pengangkut kayu berjalan perlahan di tepi hutan. Itu kesempatan kami.
Hari pelarian telah tiba. Perasaan campur aduk bergemuruh dalam dada. Kami hanya bisa saling melirik untuk memberi tanda. Satu persatu berjalan beriringan seperti biasa menuju kubangan tempat mandi yang telah mulai mengering. Mandi seperti biasa, dan tanpa bersuara. Satu persatu mengendap-endap berjalan menuju rerumputan tinggi di dekat jalan tanah berdebu dimana truk biasa lewat. Tepat! Tak lama kemudian truk datang  perlahan. Kami melompat diatas bak truk satu persatu, saling membantu menarik lengan yang lain. Debaran jantung kami bercampur dengan nafas tersengal-sengal. Kami merapat memeluk gelondongan kayu, berpegangan erat pada tali pengikat. Peluh kemerdekaan mengalir deras membangkitkan semangat. Kami tinggalkan semua barang kami di mess. Tiada yang berharga lagi daripada kebebasan.
Tak lama kemudian, truk memasuki jalan besar. Suasana pun berubah menjadi semakin ramai. Mata kami terbeliak, ternyata kami masih berada di pulau yang sama, negara sama. Seharusnya Aku pergi ke Malaysia. Penipu! Kami berlompatan turun ketika truk memasuki pemberhentian untuk beristirahat. Kami berpelukan dan menangis tersedu,  diantara kesedihan dan mencoba merasakan kebahagiaan. Setidaknya kebahagian terlepas dari cengkeraman kerja paksa, tidak seperti yang masih tertinggal di perkebunan.
Kami duduk di tepi jalan begitu lama. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Mengingat masa lalu, merasakan hari ini dan bingung menghadapi yang akan datang. Hingga matahari berangsut menepi dan perut mulai lapar. Kami sadar, kami tak punya makanan, uang atau sesuatu untuk ditukar dengan makanan pengganjal perut. Kami terpaksa menggelandang beberapa hari. Kami harus melakukan sesuatu untuk bertahan. Menawarkan tenaga untuk sesuap nasi. Diusir, dikejar-kejar dan di bilang maling.
Satu per satu berhasil mengumpulkan uang seperak demi seperak. Cukup untuk pulang kampung dengan menumpang truk seperti yang sudah pernah kami lakukan. Kami berpisah, saling mengenang dan menorehkan duka mendalam. Aku berpisah. Mereka pulang, dan Aku? Aku pun harus pulang membawa sesal tiada terkira. Kemarahan pada Lik Tarmin tak lagi membara seperti sediakala. Memaki pun tak layak untuk kulontarkan  padanya. Aku tak ingin menyebut namanya, mendengar atau melihatnya lagi. Ampunan Bapak, Embok dan Tumini lebih berharga bagiku. 
Padang jagung menjadi saksi kesombonganku. Pun menjadi saksi kekalahanku. Aku berjalan menembus beberapa petak ladang jagung yang dulu milik Bapakku. Entahlah, kini menjadi milik siapa. Daun-daun jagung masih menyayat kulitku seperti dulu. Aku memilih pasrah dan menunduk. Hatiku lebih sakit mengingat penghianatanku. Jika kau ingin menguliti Aku, kau pantas melakukannya, bisikku lemah. Angin berhembus sepoi-sepoi membelai rambutku. Langit biru menaungi ketakberdayaanku. Aku harus terus menembus tirani padang jagung. Berharap melihat Bapakku, Embokku dan Tuminiku dengan segala resiko. Semoga Aku tak bertemu Sartiniku.


Catatan :
  1. Klobot : Kulit jagung
  2. Benthik : Permainan tradisional anak-anak jawa
  3. Nener  : Mencari ikan
  4. Ajeg     : Relatif sama
  5. Diopeni : Dipelihara
  6. Thethek bengek : Macam-macam
  7. Sregep  : Rajin
  8. Sampeyan : Kamu
  9. Cong    : Tubruk
  10. Geger dadine. Hiso-hiso medhot paseduluran. Piye iki? : Ramai jadinya. Bisa-bisa memutuskan persaudaraan. Gimana ini?
  11.  Yo  wis  : Ya sudah
  12. Idep-idep nulung dulur : Hitung-hitung menolong saudara
  13. Banon   : Batu bata
  14. Idep-idep pecah ndogge siji. Minggat kono! : Anggaplah hilang satu anak. Pergi sana !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar