Perkenalan
Assalamualaikum...
Awalnya, menyulam merupakan hobi yang Saya tekuni di sela-sela kesibukan Saya sebagai karyawan. Alangkah nikmat dan damainya jika Saya sedang mengerjakan suatu proyek sulaman. Sepertinya, ada sesuatu yang tersalurkan. Diakui atau tidak, menyulam memberi waktu pada Saya untuk berfikir lebih taktis dalam membuat perencanaan... Hehehe, boleh dibilang menjadi inspirasi yang sangat hebat. Inspiring works, inspiring time, inspiring to relax... i don't know ...
Sekarang, menyulam sudah bukan lagi sekedar hobi. Ternyata melalui menyulam, Saya mampu memberi sedikit pengetahuan dan pekerjaan pada ibu-ibu di sekitar Saya. Silahkan tengok-tengok hasil karya Saya. Jika Berminat untuk membeli, silahkan tinggalkan pesan, atau email di nawaza09@yahoo.com, atau lebih cepat lagi kontak di nomor saya : 085228690194 or 085729673533.
Mungkin pula, suatu saat jika ada waktu, Saya berbagi ilmu yang cuma setitik ini. Okey. Selamat berkunjung... Selamat berbelanja
Wassalamualaikum wr wb
Awalnya, menyulam merupakan hobi yang Saya tekuni di sela-sela kesibukan Saya sebagai karyawan. Alangkah nikmat dan damainya jika Saya sedang mengerjakan suatu proyek sulaman. Sepertinya, ada sesuatu yang tersalurkan. Diakui atau tidak, menyulam memberi waktu pada Saya untuk berfikir lebih taktis dalam membuat perencanaan... Hehehe, boleh dibilang menjadi inspirasi yang sangat hebat. Inspiring works, inspiring time, inspiring to relax... i don't know ...
Sekarang, menyulam sudah bukan lagi sekedar hobi. Ternyata melalui menyulam, Saya mampu memberi sedikit pengetahuan dan pekerjaan pada ibu-ibu di sekitar Saya. Silahkan tengok-tengok hasil karya Saya. Jika Berminat untuk membeli, silahkan tinggalkan pesan, atau email di nawaza09@yahoo.com, atau lebih cepat lagi kontak di nomor saya : 085228690194 or 085729673533.
Mungkin pula, suatu saat jika ada waktu, Saya berbagi ilmu yang cuma setitik ini. Okey. Selamat berkunjung... Selamat berbelanja
Wassalamualaikum wr wb
23 Apr 2012
KERUDUNG SULUR ABSTRAK/KSA-05
Bahan kerudung paris ukuran 115x115 cm, disulam dengan benang dua warna (biru putih) dengan teknik rantai. Sangat sederhana tetapi manis
Lama pengerjaan 1 - hari
Untuk order dan harga, silahkan hubungi : 085228690194
Silahkan.....
KERUDUNG RODA FLANEL/KRF-04
Bahan dasar kerudung paris warna keemasan ukuran 115x115 cm, dengan aplikasi bulatan flanel lucu yang disulan dengan benang sulam
Lama pengerjaan 1-2 hari
Untuk harga dan order, silahkan hubungi 085228690194
Silahkan...
Lama pengerjaan 1-2 hari
Untuk harga dan order, silahkan hubungi 085228690194
Silahkan...
KERUDUNG BUNGA ABSTRAK/KBA-03
Bahan dasar kerudung paris ukuran 115x115 cm berwarna merah maroon, disulam dengan benang sulam dua warna dan manik-manik
Lama pengerjaan : 1-2 hari
Harga : 35000/pcs; 32500/3 pcs
Kebetulan untuk yang terpasang dah sold out
Tapi tetep bisa order, baik dengan warna sama amupun berbeda
Silahkan...
Lama pengerjaan : 1-2 hari
Harga : 35000/pcs; 32500/3 pcs
Kebetulan untuk yang terpasang dah sold out
Tapi tetep bisa order, baik dengan warna sama amupun berbeda
Silahkan...
KERUDUNG DAUN GUGUR/KDB-02
Bahan dasar : Kerudung paris warna hijau, ukuran 115x115 cm. Disulan dengan benang sulam warna senada dan manik-manik senada
Lama pengerjaan 1-2 hari
Bisa order warna lain...
untuk harga dan order, silahkan hubungi 085228690194
Silahkan
KERUDUNG BUNGA TABUR/KBT-01
bahan dasar : Paris, ukuran : 115x115 cm
Di sulam dengan benang sulam merk payung warna biru muda, pink muda, pink hingga depan
(setengah kerudung/segitiga)
Lama pengerjaan rata-rata 2-3 hari
bisa diorder dengan warna lain..., silahkan
Untuk harga dsbnya, hubungi di 085228690194 ya
Di sulam dengan benang sulam merk payung warna biru muda, pink muda, pink hingga depan
(setengah kerudung/segitiga)
Lama pengerjaan rata-rata 2-3 hari
bisa diorder dengan warna lain..., silahkan
Untuk harga dsbnya, hubungi di 085228690194 ya
11 Apr 2012
CERPENKU "PADANG JAGUNG"
PADANG JAGUNG
Oleh
: Indah Saptiningrum
(Di tulis pada 2008)
Masih terlalu pagi.
Subuh baru saja usai dan matahari masih enggan mengisi hari. Semburat biru dan
jingga memecah gumpalan hitam di langit. Garis-garis putih tipis semakin
melebar menghujam bumi. Angin dingin berhembus malas menembus kulit, namun
terasa sangat ngilu. Merapatkan jaket adalah tindakan bijaksana mengurangi
kesakitan ini. Tangan berjaga kalau-kalau jaket terbuka dan membantu
menghangatkan badan dengan disilangkan di dada, seperti rekanan yang saling
menguntungkan.
Mobil angkutan
pedesaan yang kutumpangi adalah mobil pertama hari ini. Aku adalah penumpang
pertama yang masuk ke desa baginya setelah mengantar petani dan pedagang
sayuran ke pasar induk. Sopir seperti tak mau menunggu mobilnya penuh, karena
ia yakin tak mungkin ada penumpang menuju ke desa pada jam sepagi ini. Ia
memacu mobil dengan kecepatan penuh tanpa memperhitungkan orang lain yang
mungkin akan menumpang. Bukan karena ia ingin mengantarkan Aku cepat sampai
tujuan. Tapi lebih karena rejeki menunggu di ujung desa, yaitu anak-anak berangkat
sekolah, buruh pagi dan juga sedikit pegawai. Sepertinya dia tak mau rejekinya
dipatok ayam jika kesiangan. Dan Aku terpaksa berpegangan kuat-kuat pada besi
yang dipasang di sepanjang jendela jika tak ingin terhempas.
Lampu rem mobil
menyala. Mobil berhenti mendadak membuatku terpental dari dudukku. Busyet!
Andai Aku tak sedang menahan perasaanku pasti sudah memaki sopir ini dengan
sumpah serapah. Aku melompat turun tanpa komentar. Mobil langsung melesat
menghilang menembus kabut yang mulai menipis, menyisakan bau knalpot dan
dengungan mesin yang makin sayup-sayup terdengar. Aku menarik nafas dalam-dalam
melalui hidung. Memasukkan udara pagi nan segar ke dalam paru-paruku hingga
penuh, kemudian perlahan membuangnya melalui mulut. Gumpalan putih asap tipis mengiringi
hembusan nafasku. Kutatap hamparan padang
jagung yang telah siap panen. Mungkin setengah bulan lagi. Luas, luas tiada
batas seakan mencapai titik cakrawala. Berlatar birunya Gunung Sumbing dan Sindoro
di sisi timur dan barat. Dan memerahnya ujung langit yang bergerak dramatis.
Warna coklat kusam klobot, rambut
jagung coklat tua yang menyembul sedikit di ujungnya dan pohon jagung berjejer
rapi bagaikan lukisan maestro. Perpaduan indah, keanggunan yang menyesakkan
dada bagiku.
Aku berdiam malas
untuk melangkah selayaknya orang mudik yang ingin segera berbagi oleh-oleh
dengan sanak saudara dan tetangga. Aku tidak mirip sekalipun dengan pemudik
yang telah menyiapkan aneka cerita historis yang membuat pemuda lain tergiur
untuk ikut merantau. Walaupun Aku menginginkan pelukan dan rangkulan, Aku tak
berani untuk membayangkan. Yang hadir dalam pelupuk mataku hanyalah sorot mata
tajam penuh kemarahan dari orang-orang yang telah kukhianati. Aku tak berani…
Tapi kemana Aku harus kembali kalau bukan ke ranah kelahiranku. Di situ Aku
bermain benthik, di situ Aku nener, di situ Aku berkelahi dengan
teman sebayaku dan disitu Aku mencium gadis lugu yang tersipu dan memerah
pipinya menahan marah. Sartini. Aku hanya berani menatap hamparan ladang jagung
yang diam membisu.
Ah, ladang jagung
pun tentunya merasa hina kutatap. Karena Aku membuatnya rendah dan tidak
berpengharapan. Bukan tanpa alasan, tapi penuh dengan alasan dan semua bermuara
padaku. Ladang gersang tadah hujan yang memberikan hasil terbaik jika ditanami
jagung. Sesekali padi ditanam ketika hujan sedikit lebat dan ajeg, namun tikus selalu lebih dulu
memanennya. Ladang gersang sebagai tumpuan hidup hampir semua penduduk kampung.
Ladang gersang yang memeras tenaga dan keringat si tua dan pemuda bodoh.
Matahari di atasnya telah membuat kulit mengering, menghitam, berbau dan mengeriput
lebih awal. Dulu semua kuanggap tidak layak sebagai gantungan masa depan,
bahkan sekedar bertahan hidup.
Karena itu Aku
menginginkan bapak menjual ladang sialan itu dan membiayaiku pergi ke Malaysia.
Kang Marijan bekerja di pabrik elektronik dan bergaji banyak. Buktinya,
sepulang dari Malaysia,
Kang Marijan bisa membangun rumah tembok, bahkan menikahi Sartini yang manis
dengan pesta meriah dan mewah. Yu Kartini tak kalah hebat walaupun hanya
bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia. Buktinya, ia mampu
membelikan Agus sepeda motor baru untuk ngojek. Kontan lagi! Konon kabarnya,
Slamet pun bisa rutin mengirim Bapak dan Emboknya uang setiap bulan sejak ia
menjadi kuli bangunan di Malaysia.
Dan banyak lagi yang lainnya begitu menikmati manisnya surga di negeri jiran.
Apakah Aku salah jika ingin merubah nasib keluargaku yang terus berkutat dengan
jagung, dan jagung, yang sama artinya dengan kemiskinan.
Tapi, Bapak keras
kepala. Ia tak mau Aku meninggalkan keluarga pergi ke Malaysia. Bukan karena alasan itu. Tapi
ia tak mau menjual beberapa petak kecil ladang jagungnya untuk membiayaiku
pergi beradu untung di Malaysia.
Sungguh kolot dan juga egois. Menurut Bapak, ladang sialan itu adalah warisan
leluhur yang tidak hanya harus ditanami. Tapi juga harus diopeni dan dikeramatkan. Jika kita menjual sebidang tanah warisan
akan berbuntut pada menjual tanah warisan lainnya hingga habis. Ia lebih rela menjadi budak ladang jagung. Ia
lebih rela membuat tubuhnya lambat laun membungkuk karena mengangkat hasil
panenan. Dan Embok adalah orang yang tidak memiliki hak untuk bersuara. Ia
hanya mengangguk patuh mengiyakan. Kehancuran dan kemiskinan selayaknya membayang
di pelupuk mata tua Bapak. Bodoh! Tidakkah Bapak menyadari bahwa sekarang ia
sudah miskin sekali. Miskin dan papa.
Aku menuruni sifat
keras kepala Bapak. Diam-diam Aku mengambil beberapa lembar surat tanah pada lemari kayu di kamar Bapak. Aku
menyimpannya rapat-rapat di antara kulit dan kaosku. Mendekapnya erat agar tak
jatuh. Aku menyelinap keluar. Pertanyaan Embok kujawab sekenanya. Sapaan Tumini
adik semata wayangku yang beranjak remaja kujawab dengan bentakan. Aku
terburu-buru berjalan menuju rumah Lik Tarmin, warga desa sebelah. Seorang
makelar yang baik hati. Ia juga sering memberangkatkan orang ke luar negeri
untuk bekerja. Tanpa harus bersusah payah mengurus thethek bengek seperti kalau kita mendaftar di PT. Ia menjanjikanku
langsung berangkat, jika Aku bisa menyediakan uang sepuluh juta. Senilai dengan
dua atau tiga petak ladang Bapak. Seharusnya Bapak rela, toh ia masih memiliki
dua petak ladang lainnya untuk di olah. Sehingga Aku tak perlu mencuri seperti
ini.
Lik Tarmin sepertinya
tidak suka padaku ketika Aku bilang, “Aku tak punya uang sepuluh juta.”Aku
menatap matanya memohon belas kasihnya. “Tapi… Aku punya dua surat tanah”. Aku menyodorkan dua lembar surat tanah milik Bapak
sambil gemetar. Ini pertama kali Aku mencuri… dari Bapak…. Tapi Aku berjanji
dalam hati akan mengganti dengan yang lebih luas, lagi lebih subur. Aku
berjanji akan mengganti dengan apapun keinginan Bapak. Seperti menikahkan
Tumini dengan pemuda terhormat dan juga sregep
bekerja. Pasti!. Setelah Aku pulang dari Malaysia. Mungkin tidak sampai tiga
tahun.
“Tanah ladang
kering seperti ini, harganya tidak seberapa Dik Sugi,”Kata Lik Tarmin
meletakkan surat
tanah di meja perlahan. Ia menyulut rokok dan menghisapnya dalam-dalam. Aku
mengejar sudut matanya, menunggu kata lainnya. Aku sudah mendengar cerita dari
beberapa orang kalau Lik Tarmin pasti akan berkata begitu. Tapi ia akhirnya
akan berbaik hati mengiyakannya.
“Lik Tarmin kan sudah kenal Bapakku tho.
Nanti kalau pulang dari Malaysia Aku ndak akan lupa pada jasa sampeyan,”Janjiku pada Lik Tarmin yang
terus menghisap rokoknya, kemudian menghembuskan asap berbentuk gumpalan bulat
putih dari mulutnya. Seperti yang sering dilakukan Bapak untuk menyenangkan Aku
dan Tumini sewaktu masih kecil. Ia mematikan apinya pada asbak yang diletakkan
diatas meja. “Dik Sugi tahu. Pergi ke Malaysia harus pakai pasport.
Syaratnya ndak gampang. Aku harus keluar masuk kantor imigrasi. Belum lagi Dik
Sugi tidak punya akte lair. Wah… sedikit repot dan butuh waktu paling cepat
satu minggu,” Katanya mengacungkan tangannya mempersilahkan Aku minum. Istri
Lik Tarmin baru saja mengantarkan teh cong
yang masih panas. Aku segera menyeruputnya untuk menghilangkan ketegangan
syaraf otakku. Lik Tarmin meneruskan penjelasannya,”Dik Sugi juga harus tahu. Syarat
Dik Sugi banyak yang tidak ada. Jadi Aku butuh uang banyak untuk nyogok sana sini. Jumlahnya nggak
sedikit. Aku bisa tombok banyak,” Ia berhenti sejenak dan menyeruput teh panas
yang masih mengepulkan asap dengan suara keras. Beberapa batang teh
bergantungan di kumisnya yang lebat. Tangan Lik Tarmin spontan mengusap
kumisnya dan membuang batang teh di lantai keramik. Ia mengambil kembali akte
tanah di meja. Ia menatapnya dengan seksama kemudian menggelengkan kepala dan
menaruhnya lagi. Aku jadi khawatir, jantungku berdebar keras, keringat dingin
mengucur. Aku tak bisa membayangkan penolakan Lik Tarmin mengurus kepergianku.
“Lik, tolonglah Aku.
Aku akan bayar kekurangannya nanti kalau sudah pulang dari Malaysia,”Suara yang keluar dari
mulutku tercekat bercampur dengan hibaan. Aku menatap mata Lik Tarmin memohon.
Lik Tarmin menarik nafas panjang dan meneruskan menyeruput teh. Kali ini bunyi
seruputannya lebih pelan dan lebih lama. Mungkin Lik Tarmin takut ada batang
dan daun teh mampir kembali di kumisnya “Hah, apa Dik Sugi sudah rembugan sama orangtua?,”Tanyanya
pelan. Matanya menatap wajahku penuh selidik. Aku tak berani berkata-kata,
hanya menunduk dan menggeleng. “Wah susah. Nanti Bapakmu nuntut sama Aku. Geger dadine. Hiso-hiso medhot paseduluran.
Piye iki? Resikonya besar,” Kalimatnya meninggi. Tangan kirinya ia
tepuk-tepukkan di lutut. Aku sangat takut menatap wajahnya. “Tapi apa tekadmu
sudah bulat?,”Tanyanya tiba-tiba. Aku buru-buru menjawab,”Sudah Lik.”Lama Lik
Tarmin tidak bersuara. Ia berkali-kali melirikku, menepuk lututnnya dengan
tangan kiri kemudian mengusap kumisnya. Akhirnya, matanya menatap ke luar
rumahnya melalui pintu masuk model sekarang yang bagus. Tarikan nafasnya terasa
berat. Ia menggeser pecinya menjadi sedikit miring. Nampaknya Lik Tarmin sedang
berpikir keras. Sedang Aku terus berdoa dan berharap.
“Hah … yo wis.
Pikirkan dulu. Surat
tanahnya biar disini dulu. Nanti biar Aku taksir harganya. Idep-idep nulung dulur ,” Keluh Lik Tarmin menimang surat tanah. Dan menyuruhku
pulang. “Kira-kira seminggu lagi Dik Sugi kesini,”Suasana hatiku
sekonyong-konyong berubah gembira. Aku tak mampu berbicara atau mengucapkan
terima kasih. Aku bangkit dan meraih tangan Lik Tarmin yang berhati mulia dan
menciumnya. Aku bahkan berdoa dalam hati agar rejeki Lik Tarmin lancar dan
berlimpah.
Pada saat itu, udara dan langit berubah menjadi cerah.
Angin pun berhembus manja memainkan anak rambutku yang tak sempat ku potong.
Keringat dingin yang tadi mengalir deras ketika berada di rumah Lik Tarmin
berubah menjadi air dingin menyejukkan. Khayalku melayang jauh. Malaysia,
uang, pernikahan Tumini, senyum bangga Bapak mengenakan baju batik idamannya
yang tak pernah bisa ia beli. Embok nampak anggun dengan kebaya muslim yang
bagus, tidak kalah dengan yang dikenakan Bu Kaji Tasliyah. Rumahku pun telah
berubah menjadi rumah banon. Satu
lagi yang tak boleh lupa dalam khayalanku, wajah menyesal Sartini karena tak
sabar menungguku berhasil seperti ini.
Tapi keberangkatanku diiringi sumpah serapah Bapak dan
raungan tangis Embok. Juga isak tangis Tumini yang memohon agar Aku
mengurungkan niatku. Aku tak peduli. Aku tak menganggap penting ketika Bapak
berujar dengan suara melengking,”Idep-idep
pecah ndogge siji. Minggat kono!” Langitpun berubah menjadi hitam dan
gelap. Aku memang pergi meninggalkan rumah dan desaku. Aku berjanji dalam hati
untuk kembali membuat kemakmuran keluargaku.
Ku ambil jalan
pintas melalui ladang jagung yang seakan tiada habis. Daun keringnya menyayat
kulitku seperti pinggiran silet yang tajam. Lambaian daun jagung lebih seperti
kibasan tangan mengusirku. “Aku tak peduli, kau tahu itu ladang jagung
brengsek!,”Aku berteriak keras sambil berlari dan membalas memukul, mematahkan
pohon jagung kemudian menginjak-injaknya dengan sekuat tenaga. “Aku akan pulang
nanti. Dan kau akan menjadi benda kuno yang tidak dipuja lagi. Aku akan menang
dan kau payah!,”Teriakku memaki pohon jagung yang bergesekan satu sama lain.
Angin kencang diiringi guntur
keras di langit dan kilatan kuning seperti api menjawab tantanganku. Aku pergi.
Kenyataan ternyata jauh dari dari impian. Aku
bertepuk sebelah tangan. Aku tertipu. Aku sempat merasa beruntung ketika
berangkat lebih dulu dari teman-teman senasibku dari penampungan di Jakarta. Walaupun Aku
harus pergi dengan menumpang truk yang ditutup terpal. Gelap dan pengap. Aku
bahkan tak boleh keluar dari belakang truk. Tidak boleh, sekalipun untuk
menghirup udara segar di luar sana.
Baiklah, yang penting Aku sampai di Malaysia, pikirku. Berjam-jam dan
mungkin berhari-hari Aku hanya mendengar bisingnya suara klakson dan mesin truk. Aku menahan keinginanku untuk kencing dan
buang air besar. Aku menahan keinginanku untuk mengguyur tubuhku setelah
terperangkap dalam ruangan sesak dan panas. Aku hanya mampu berbincang-bincang
dengan mereka dalam satu truk. Celoteh gembira, kadang-kadang diiringi tawa
menggema bercampur bau badan dan mulut yang tak sedap. Kemudian mencoba untuk
tidur dan bermimpi indah.
Aku tiba di sebuah mess, makan dan mandi. Malaysia, Aku
datang, bisikku pelan penuh senyuman dan semangat. Seorang laki-laki tua dan
kekar yang tidak banyak bicara kecuali menghardik memeriksa satu persatu. Aku
dan teman-temanku langsung digiring bekerja. Aku terperanjat melihat apa yang
ada dihadapanku. Ladang jagung yang luas dan berwarna coklat. Aku harus bekerja
di ladang jagung, pekerjaan yang Aku benci selama ini. Aku tak sempat bertanya.
Bentakan-bentakan datang terus menerus tiada henti. Dan waktu istirahat yang
sedikit. Tak cukup untuk meluruskan punggungku yang penat karena harus
mengangkat panenan jagung berulangkali. Kemudian keesokkan harinya harus
mencangkul atau menyabit rumput tinggi membuka lahan. Terus menerus berulang pada
hari berikutnya. Tidak ada waktu tersedia untuk bermimpi.
Mungkin sudah berminggu-minggu Aku berada dalam penjara
ini. Mungkin pula sudah berbulan-bulan. Aku tak mampu mengingat hari lagi.
Setiap malam terdengar ratapan menyesal yang tersekat. Laki-laki menangis
terguguk menjadi hal biasa di dalam mess yang panas. Aku tak jauh berbeda.
Rutinitas kerja padat lebih mirip dengan kerja paksa. Tanpa bayaran. Tidak sama
sedikitpun dengan cerita Kang Marijan atau Yu Kartini. Matahari terbit dan
tenggelam hanya diselingi kerja keras, keringat dan tangis pilu. Tidak tawa,
impian dan harapan akan masa depan. Aku berontak dalam hati.
Bersama beberapa pemuda seusiaku merancang pelarian dari
perkebunan jagung. Semua berawal ketika kami mendengar suara truk tak jauh dari
kubangan air tempat kami mandi. Dua orang dari kami mengintip hingga di balik
rumput yang tinggi. Aku dan yang lain berjaga-jaga dan tetap pura-pura mandi
seperti biasa. Pada jam-jam tertentu ketika kami mandi, beberapa truk
pengangkut kayu berjalan perlahan di tepi hutan. Itu kesempatan kami.
Hari pelarian telah tiba. Perasaan campur aduk
bergemuruh dalam dada. Kami hanya bisa saling melirik untuk memberi tanda. Satu
persatu berjalan beriringan seperti biasa menuju kubangan tempat mandi yang
telah mulai mengering. Mandi seperti biasa, dan tanpa bersuara. Satu persatu
mengendap-endap berjalan menuju rerumputan tinggi di dekat jalan tanah berdebu
dimana truk biasa lewat. Tepat! Tak lama kemudian truk datang perlahan. Kami melompat diatas bak truk satu
persatu, saling membantu menarik lengan yang lain. Debaran jantung kami
bercampur dengan nafas tersengal-sengal. Kami merapat memeluk gelondongan kayu,
berpegangan erat pada tali pengikat. Peluh kemerdekaan mengalir deras
membangkitkan semangat. Kami tinggalkan semua barang kami di mess. Tiada yang
berharga lagi daripada kebebasan.
Tak lama kemudian, truk memasuki jalan besar. Suasana
pun berubah menjadi semakin ramai. Mata kami terbeliak, ternyata kami masih
berada di pulau yang sama, negara sama. Seharusnya Aku pergi ke Malaysia.
Penipu! Kami berlompatan turun ketika truk memasuki pemberhentian untuk
beristirahat. Kami berpelukan dan menangis tersedu, diantara kesedihan dan mencoba merasakan kebahagiaan.
Setidaknya kebahagian terlepas dari cengkeraman kerja paksa, tidak seperti yang
masih tertinggal di perkebunan.
Kami duduk di tepi jalan begitu lama. Masing-masing
sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Mengingat masa lalu, merasakan hari
ini dan bingung menghadapi yang akan datang. Hingga matahari berangsut menepi
dan perut mulai lapar. Kami sadar, kami tak punya makanan, uang atau sesuatu untuk
ditukar dengan makanan pengganjal perut. Kami terpaksa menggelandang beberapa
hari. Kami harus melakukan sesuatu untuk bertahan. Menawarkan tenaga untuk
sesuap nasi. Diusir, dikejar-kejar dan di bilang maling.
Satu per satu berhasil mengumpulkan uang seperak demi
seperak. Cukup untuk pulang kampung dengan menumpang truk seperti yang sudah
pernah kami lakukan. Kami berpisah, saling mengenang dan menorehkan duka
mendalam. Aku berpisah. Mereka pulang, dan Aku? Aku pun harus pulang membawa
sesal tiada terkira. Kemarahan pada Lik Tarmin tak lagi membara seperti
sediakala. Memaki pun tak layak untuk kulontarkan padanya. Aku tak ingin menyebut namanya,
mendengar atau melihatnya lagi. Ampunan Bapak, Embok dan Tumini lebih berharga
bagiku.
Padang jagung menjadi saksi kesombonganku. Pun menjadi saksi kekalahanku. Aku
berjalan menembus beberapa petak ladang jagung yang dulu milik Bapakku.
Entahlah, kini menjadi milik siapa. Daun-daun jagung masih menyayat kulitku
seperti dulu. Aku memilih pasrah dan menunduk. Hatiku lebih sakit mengingat
penghianatanku. Jika kau ingin menguliti Aku, kau pantas melakukannya, bisikku
lemah. Angin berhembus sepoi-sepoi membelai rambutku. Langit biru menaungi
ketakberdayaanku. Aku harus terus menembus tirani padang jagung. Berharap melihat Bapakku,
Embokku dan Tuminiku dengan segala resiko. Semoga Aku tak bertemu Sartiniku.
Catatan :
- Klobot : Kulit jagung
- Benthik : Permainan tradisional anak-anak jawa
- Nener : Mencari ikan
- Ajeg : Relatif sama
- Diopeni : Dipelihara
- Thethek bengek : Macam-macam
- Sregep : Rajin
- Sampeyan : Kamu
- Cong : Tubruk
- Geger dadine. Hiso-hiso medhot paseduluran. Piye iki? : Ramai jadinya. Bisa-bisa memutuskan persaudaraan. Gimana ini?
- Yo wis : Ya sudah
- Idep-idep nulung dulur : Hitung-hitung menolong saudara
- Banon : Batu bata
- Idep-idep pecah ndogge siji. Minggat kono! : Anggaplah hilang satu anak. Pergi sana !
10 Apr 2012
KVE-08 warna abu-abu muda dengan benang sulam warna hijau laut dan bunga2 warna pink dan krem sesuai pesanan, dan KBM-06 ungu serta KVE-08 warna pink...
Maaf, karena gak inget Jumat itu tanggal merah (6/4/2012-hari raya paskah), semua jasa pengiriman
libur (buka tapi tetep dikirim sabtu), jadi agak terlambat. Gak tau juga, ternyata janji jasa pengiriman Senin sampai, tp selasa baru sampai. Hmmmmmm... bikin galau. maaf sebesar2nya. semoga kedepannya tidak begitu lagi...
Maaf, karena gak inget Jumat itu tanggal merah (6/4/2012-hari raya paskah), semua jasa pengiriman
libur (buka tapi tetep dikirim sabtu), jadi agak terlambat. Gak tau juga, ternyata janji jasa pengiriman Senin sampai, tp selasa baru sampai. Hmmmmmm... bikin galau. maaf sebesar2nya. semoga kedepannya tidak begitu lagi...
Langganan:
Postingan (Atom)